" Curhat Ah... "

السّلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Sabtu, 07 Januari 2012

Jakarta dan Ibu Pengemis Tua


Pagi ini, lagi-lagi aku melewati jalan kecil itu, seperti hari-hari yang lalu. Tergesa-gesa menuju kampusku, tanpa sarapan, tanpa sempat melihat kiri dan kanan, yang dipikirkan hanya jam. Jam sudah menunjukan pukul 07.50 WIB, aku tahu akan terlambat karena masih membutuhkan kurang lebih dua puluh menit untuk sampai ke kampus.
Seperti biasa aku selalu melihat pengemis itu ketika aku keluar dari terminal busway. Wajahnya sudah sangat familiar dimataku, bajunya yang lusuh masih sama seperti jum’at yang lalu, aku menduga dia hanya punya baju tujuh pasang dalam seminggu. Setiap kali aku berangkat dan pulang selalu kujumpai wajah tua itu. Wajah yang penuh dengan senyuman seolah dia sudah biasa hidup seperti itu.
Ku percepat langkahku ketika mata kami bertemu. Aku tak mau tahu tentang dia saat ini, aku hanya ingin cepat berada dikelas dan berharap dosen belum datang.
 “ Terlambat lagi,” tegur pak Tebe tepat ketika aku mengetuk pintu kelas dengan perlahan. Hatiku seakan berhenti sejenak saat kata-kata itu terlontar.
“ Maaf Pak “ jawabku dengan kepala menunduk.
Pak Tebe mendekat. “ Ini sudah berapa kali kamu terlambat mata kuliah bapak, Lita!”
“ Sering Pak.” Jawabku nyaris tak terdengar.
“ Di jam istirahat bapak tunggu diruangan.”
“ Ya.” Sahutku lemah, aku segera masuk ke kelas sesaat setelah itu, kuhempaskan pantatku diatas kursi paling belakang. Bukan keinginanku untuk datang terlambat. Kalau bukan karena padatnya pengguna busway aku tidak mungkin tertinggal tiga bus dan terlambat datang lagi. Kemacetan kota Jakarta memang sudah menjadi alasan klise saat datang terlambat dipagi hari.
Pagi-pagi sudah begini cape, keluhku. Aku hanya ingin kenyamanan, menginginkan sedikit celah ditengah kesibukanku. Mungkin aku butuh sedikit refreshing. Apa sebaiknya aku pulang ke desa? Sudah lama juga aku tidak pulang? Tapi, kuliah dan pekerjaanku bagaimana? Berapa banyak mata kuliah yang akan kutinggalkan? Siapa yang akan meng-handle siaranku? Aku tak rela bila orang lain yang menanganinya.
***
“ Mengenai keterlambatanmu ...” Pak Tebe menggantung kalimatnya, aku memandangnya. Apa yang tengah dikatakan selanjutnya.
“ Bapak tahu kalau kamu siaran pada malam hari, Lita. Sehingga waktu tidurmu berkurang. Dan inilah yang membuatmu sering terlambat.”
Aku mengeluh. Bapak tahu kesibukanku setiap harinya, lalu mengapa masih membahas keterlambatanku.
“ Mengapa kamu tidak mengajukan siaran disiang hari saja?”
Tiba – tiba saja aku merasa tertekan. “ Saya sudah pernah mengajukan, tapi tetap tidak bisa pak. Akan saya usahakan untuk datang tepat waktu pak.” Janjiku tak yakin.
“ Tapi, bapak tidak yakin, Lita.”
Kembali aku menarik nafas. Ketidakyakinan pak Tebe mungkin sama besar dengan ketidakyakinanku sendiri. Pembicaraan kami berakhir lima belas menit kemudian tanpa membawa hasil apa – apa bagi diriku sendiri. Tiba – tiba ada sesuatu yang ku rindukan, tapi entah apa.
***
Dalam perjalanan pulang setelah siaran menuju kosanku, didalam taksi kupandangi gelapnya langit dihiasi sinaran bintang dan lampu kota seakan berlomba memberikan cahaya terangnya. Hilir mudik mobil begitu bising, klakson saling bersahutan, ditimpali suara ribut pejalan kaki, lalu para penjual asongan yang berlomba menjajakan dagangannya, belum lagi asap knalpot yang sudah menjadi hirupan warga Jakarta setiap harinya.
Aku menghela nafas. Tuhan, apakah yang telah terjadi sebenarnya denganku? Desahku. Tiba – tiba saja aku begitu merindukan kampungku. Aku stop taksi yang membawaku, lalu turun ditengah kemacetan itu. Ingin sedikit menghirup nafas kebebasan diluar sana, berharap udara yang sama dengan kampungku. Aku menuruni tangga, menyusuri sepanjang pertokoan, lalu membelok ke jalan sempit yang biasa ku lalui dari pagi. Tiba – tiba aku teringat pengemis tua itu.
“ Assalamualaikum, Nak.”
Seseorang menyapaku dari belakang, cepat aku menoleh dan kudapati pengemis tua itu tersenyum kepadaku.
“ Ibu pengemis tua,” ujarku, lalu memaksaku membalas senyum. “ Alaikumussalam.” Sahutku kemudian.
“ Tumben malam – malam begini lewat sini,” ujarnya ramah.
Aku terkejut, jadi ibu ini memperhatikanku dari pagi hingga malam. Aku memang selalu naik taksi dimalam hari dan tidak pernah berjalan kaki. Kupandangi wajah tua itu, begitu bersih dan penuh ketenangan.
“ Anak ini kenapa, ibu perhatikan hari ini murung sekali?”
“ Ibu sudah menikah?”
Ibu itu tertawa, “ Memangnya ibu terlihat seperti masih gadis?”
Aku menggeleng seraya mengukir senyum tipis, “ Ibu, sudah lama tinggal di Jakarta?”
“ Sudah, memangnya kenapa?”
“ Ibu tidak pernah merasa bosan dengan kehidupan Jakarta?”
Ibu itu tersenyum, “ Jenuh dan bosan itu adalah hal yang pasti pernah manusia rasakan, termasuk ibu. Tapi itulah kehidupan tergantung bagaimana kita mengubah rasa bosan itu dengan kesenangan. Jakarta adalah kota impian orang – orang desa, tapi desa adalah tempat yang diinginkan orang Jakarta. Di Jakarta orang penuh dengan kesibukan dari pagi hingga malam menjelang, tiada henti. Panas, udara kotor, macet, bising dan masih banyak lagi adalah satu ciri khas atau kebudayaan yang susah lepas dari Jakarta. Kebudayaan itulah yang membedakan antara kota Jakarta dengan kota lainnya. Memang anak sedang merasa bosan?”
Aku mengangguk pelan, “ Biasanya ibu menghilangkan rasa bosan itu dengan cara apa?”
“ Biasanya ibu pasti pulang ke kampung, bertemu anak dan suami disana. Makan bersama disaung pinggir sawah, bermain bersama anak – anak di sekitar perkebunan, pokoknya memanfaatkan keindahan yang tidak didapat di Jakarta. Terkadang kita jangan terlalu larut dalam ambisi yang mengakibatkan kesibukan yang tiada henti, sempatkanlah berlibur atau mencari suasana baru yang dapat membangkitkan semangat lagi.” Jelasnya panjang lebar kepadaku.
Aku tertegun dengan seluruh ucapannya. Tuhan, ini mustahil, ibu ini telah menyadarkanku akan apa yang aku lupakan selama ini. Aku lupa dari mana aku berasal, aku terlalu sibuk dengan kuliah dan pekerjaanku, aku rindu ibuku, aku rindu tempatku dilahirkan, aku ingin pulang. Ku pejamkan mataku, dadaku semakin sesak. “ Terima kasih, saya pamit pulang sudah malam.” Ujarku kemudian, lalu meninggalkan ibu tua itu. Di perjalanan air mataku menetes, namun kuhapus segera dengan kasar. Sesampainya dikosanku, air mataku tumpah tak tertahan lagi.
Aku sadar ruang kosong itu adalah kerinduan yang besar terhadap desaku yang sejuk, tenang, dan tiada membosankan tentunya. Bukan seperti Jakarta yang selalu penuh dengan aktivitas dari pagi hingga malam. Keramahan orang – orang desa yang tidak kudapati di Jakarta mungkin adalah salah satu yang ingin kujumpai.
***
Akupun memutuskan untuk segera pulang di akhir minggu ini untuk mengembalikan semangatku yang telah hilang. Biarlah ku ambil jatah satu kali bolos dan meminta ijin tidak siaran selama satu minggu. Demi bertemu keluarga, melihat para petani di pagi hari, merasakan keramahan senyum yang tulus dari warga desa, menghirup sejuknya udara yang masih asri, dan mengembalikan semangatku tentunya.
Kini akupun semakin mengerti Jakarta dengan kebiasaannya dan desaku dengan kebiasaannya. Terima kasih ibu pengemis tua, karena kaulah aku sadar untuk tidak larut dalam kesibukan dan lupa akan tempatku berasal. Kini ku tahu bahwa tidak selamanya Jakarta memberi kebahagiaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar